Suku Bunga Terus Naik, Bisnis Properti Terancam

SURABAYA - Di tengah krisis keuangan global, Bank Indonesia harus menahan naiknya suku bunga acuan atau BI Rate. Jika suku bunga terus menerus naik, maka bisnis properti dipastikan akan terhambat karena sekitar 95 persen konsumen properti membeli perumahan melalui kredit pemilikan rumah.

Demikian diungkapkan Sekretaris Dewan Pengurus Daerah Real Estat Indonesia (REI) Jawa Timu M Nur Wakhid, Rabu (15/10) di Surabaya. Sejumlah langkah pengamanan keuangan telah dilakukan pemerintah jadi seharusnya BI Rate turun.

"Tetapi kalau BI Rate tetap tinggi maka pasar properti akan lesu dan peluang terjadinya kredit macet tinggi," ucapnya. Hingga saat ini, bunga kredit pemilikan rumah (KPR) komersial telah mencapai kisaran 16 persen. Padahal, pasar properti akan dinamis dengan suku bunga maksimal 14 persen.

Dengan tingginya suku bunga, maka beban angsuran konsumen KPR semakin berat. Padahal, beban masyarakat terus bertambah seiring naiknya sejumlah harga komoditas kebutuhan pokok.

"Sekitar 95 persen konsumen properti menggunakan sistem kredit dalam pembayaran. Karena itu, imbas kenaikan suku bunga pada dunia properti sangat besar," kata Nur Wakhid.

100 Industri ikutan

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Erlangga Satriagung mengatakan, agar sektor riil tetap berjalan, Bank Indonesia harus memberikan kelonggaran pengucuran kredit, khususnya pada sektor properti yang memiliki banyak industri ikutan.

"Properti merupakan sektor usaha yang membawa banyak sektor ikutan. Jika sektor ini terhambat, maka banyak usaha dan lapisan masyarakat yang menjadi korban," ucapnya.

Nur Wakhid menambahkan, properti memiliki lebih dari 100 industri ikutan. Beberapa industri ikutan dari bisnis properti, antara lain industri genteng, kayu, batu bata, hingga semen.

Tahun lalu, realisasi pembangunan rumah komersial dan rumah sederhana sehat (RSH) di Jawa Timur sebanyak 15.000 unit. Namun demikian, tahun ini realisasi diperkirakan hanya mencapai 8.000 unit.

Utilitas diutamakan

Di tengah tingginya suku bunga KPR, masyarakat harus pandai memilih tempat tinggal dengan mengutamakan kegunaan daripada bentuk dan model. "Seringkali orang membeli rumah karena harga diri dan bukan karena kegunaan," kata Pengajar Arsitektur Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Retno Hastijanti.

Menurut Retno, agar pembiayaan pembangunan rumah dapat ditekan, masyarakat sebaiknya melakukan pembangunan rumah secara bertahap. Dengan demikian, pembangunan dapat disesuaikan dengan tingkat kebutuhan serta kemampuan finansial pemilik rumah.

Selain itu, penghematan biaya pembangunan juga dapat dilakukan dengan membangun pemukiman yang sifatnya open space atau tidak banyak sekat-sekat. Pemisahan ruangan dapat menggunakan sekat semi permanen sehingga biayanya lebih murah. (kompas.com)